Teori Dramaturgi dalam Perpolitikan Indonesia
Ferdi Sambo, seorang politisi Indonesia yang berasal dari Partai Gerindra, adalah salah satu tokoh politik yang sering kali muncul dalam perdebatan politik di Indonesia. Dalam beberapa kasus politik yang melibatkan Ferdi Sambo, teori dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman dapat digunakan sebagai alat analisis untuk memahami bagaimana komunikasi politik yang dipentaskan oleh Ferdi Sambo dalam panggung politik mempengaruhi persepsi publik.
Teori dramaturgi Goffman menggambarkan bahwa komunikasi dalam kehidupan sehari-hari adalah seperti pertunjukan teater, di mana individu berperan sebagai aktor yang berinteraksi dalam suatu ruang sosial yang diatur. Dalam konteks politik, para politisi berperan sebagai aktor yang berinteraksi dalam panggung politik untuk mempengaruhi publik. Dalam analisis kasus Ferdi Sambo, kita dapat menerapkan konsep-konsep dalam teori dramaturgi, seperti "front stage" dan "back stage", "impression management", "facework", dan "audience analysis", untuk memahami bagaimana komunikasi politik Ferdi Sambo dipentaskan dan mempengaruhi persepsi publik.
Salah satu kasus politik yang dapat dianalisis menggunakan teori dramaturgi adalah ketika Ferdi Sambo menghadapi tuduhan dugaan penganiayaan terhadap seorang wartawan pada tahun 2019. Ferdi Sambo, yang saat itu menjabat sebagai anggota DPR RI, diduga melakukan penganiayaan terhadap wartawan yang sedang meliput di dekat gedung DPR. Kejadian ini menjadi perhatian publik dan media massa, dan Ferdi Sambo melakukan komunikasi politik untuk merespons tuduhan tersebut.
Dalam konteks ini, Ferdi Sambo berperan dalam "front stage" atau panggung depan, di mana ia tampil di hadapan publik untuk memberikan tanggapan atau klarifikasi terhadap tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Sebagai seorang politisi, ia menggunakan retorika yang dipersiapkan sebelumnya, menjaga bahasa tubuh, dan mengatur penampilan untuk memberikan kesan yang dikehendaki kepada publik. Dalam hal ini, Ferdi Sambo menggunakan strategi "impression management" atau pengelolaan kesan untuk membentuk persepsi publik tentang dirinya dan membela diri dari tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Ia mungkin menggunakan bahasa yang persuasif, menyampaikan alasan-alasan mengapa tuduhan terhadapnya tidak benar, atau menyangkal tuduhan tersebut sebagai alat untuk mempengaruhi opini publik dan memperoleh dukungan.
Namun, di balik panggung, ada "back stage" atau panggung belakang, di mana Ferdi Sambo dapat berinteraksi dengan tim kampanye atau penasihat politiknya untuk merencanakan strategi komunikasi. Di belakang panggung, ia mungkin melakukan "facework" atau kerja wajah untuk memastikan bahwa citra publiknya tetap baik dan bahwa ia dapat menjaga dukungan politiknya. Ia mungkin berdiskusi dengan timnya tentang respon yang efektif terhadap tuduhan yang dialamatkan,
Contoh saja saat dalam persidangan, dimana Sambo menggunakan kacamata yang dapat memberikan kesan ramah kepada orang yang melihatnya. Hal ini juga dapat ditujukan dengan niat untuk memberi kesan baik kepada hakim, sehingga hakim dapat meringankan hukuman yang akan diberikan kepadanya, atau bahkan mencabut hukuman untuknya
Kasus lain yang berhubungan dengan teori dramaturgi adalah Pemilu 2019, dalam konteks Pemilu 2019 di Indonesia, kita dapat mengaplikasikan konsep-konsep dalam teori dramaturgi untuk memahami bagaimana pemain politik, termasuk para calon presiden, partai politik, dan tim kampanye, memainkan peran mereka dalam panggung politik dan mempengaruhi persepsi publik.
Dalam "front stage" atau panggung depan, para calon presiden dan partai politik berhadapan langsung dengan publik dan media massa dalam kampanye politik mereka. Di panggung depan ini, mereka menggunakan "impression management" atau pengelolaan kesan untuk membentuk persepsi publik tentang diri mereka dan memperoleh dukungan. Mereka menggunakan retorika, penampilan fisik, dan bahasa tubuh untuk membangun citra yang dikehendaki kepada publik. Mereka mungkin menggambarkan diri mereka sebagai pemimpin yang kompeten, memiliki visi yang jelas, dan berkomitmen untuk kepentingan rakyat. Mereka juga mungkin menggunakan media sosial, iklan politik, atau kampanye massa untuk menyebarkan pesan-pesan mereka dan mempengaruhi preferensi pemilih.
Namun, di balik panggung, ada "back stage" atau panggung belakang, di mana para pemain politik melakukan "facework" atau pengelolaan wajah dalam komunikasinya dengan tim kampanye, pendukung, dan kolega politik. Dalam panggung belakang ini, para pemain politik mungkin merencanakan strategi kampanye, mengatur narasi politik, atau merespons isu-isu politik yang berkembang. Mereka mungkin merencanakan serangan terhadap lawan politik, menghindari pertanyaan yang sulit, atau mencari dukungan dari kelompok pemilih yang spesifik. Selain itu, mereka juga mungkin menghadapi tantangan internal dalam partai politik, seperti konflik kepentingan, persaingan internal, atau pergeseran aliansi politik.
Selama Pemilu 2019, kita juga dapat melihat bagaimana para pemain politik melakukan "audience analysis" atau analisis audiens untuk memahami preferensi, sikap, dan perilaku pemilih.